NI WAYAN MAHAYANI
NIM 12.1.5.6.1.40
JURUSAN PENERANGAN AGAMA HINDU
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kita
sebagai umat beragama tentu saja melakukan segala macam cara untuk menunjukkan
rasa bakti kita kepada Tuhan. Tentu saja hal ini kita lakukan sebagai wujud
syukur kita atas segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Tuhan mengatakan dalam Gita “Siapa
yang terus menerus mengingat Aku, sangat Kucintai. Karena itu, ingatlah Aku
selalu. Persembahkan kepada-Ku pikiran dan akal budimu. Serahkanlah
segala-galanya kepada-Ku. Maka engkau pasti akan mencapai Aku.”
Atas dasar itulah kita sebagai makhluk ciptaan-Nya
wajib melakukan kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan ajaran agama dan sesuai
perintah dari Tuhan. Pengabdian adalah jalan yang mudah untuk memperoleh
kebijaksanaan. Pengabdian adalah satu-satunya jalan menuju pengetahuan
spiritual yang tertinggi.
Ada banyak jalan yang dapat kita lakukan untuk
mengabdi kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak juga kitab-kitab suci yang
menyatakan kewajiban kita untuk berbakti dan mengabdi kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa. Wujud dan prioritas beragama yang dilakukan di masing-masing zaman dalam
Mahayuga berbeda-beda. Hal ini dijelaskan dalam kitab Manavadharmasastra. Untuk
itulah penulis tertarik membuat makalah ini yang berjudul “Prioritas Beragama dalam Mahayuga.”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sekilas
Tentang Manavadharmasastra
Manavadharmasastra
merupakan sebuah kitab Dharma yang dihimpun dalam bentuk sistematis oleh
Bhagawan Bhrgu, salah seorang penganut ajaran Manu. Nama otoritas kitab
dharmasastra ini disebut Manu dan dari nama itulah lahirnya nama dharmasastra.
Seluruh ajaran dalam kitab ini dianggap memuat ajaran Bhagawan Manu. Bhagawan
Bhrgu penerima ajaran Manu, adalah salah seorang dari sapta maharsi, yang
berhasil menghimpun dan mensistematisir ajaran itu.
Kitab ini dianggap paling penting
dan menarik dari sekian banyak kitab-kitab sastra yang memuat himpunan pokok
ajaran Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Wedangga. Wedangga
adalah kitab weda yang merupakan bagian batang tubuh dari Weda. Dharmasastra
merupakan salah satu dari Sad Wedangga dan mempunyai arti serta kedudukan terpenting
dalam masyarakat Hindu. Adapun yang dimaksud dengan Sad Wedangga (enam batang
tubuh Weda) yaitu Siksa, Vyakarana,
Chanda, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa.
Adapun jenis Vedangga terpenting dan
yang ada hubungannya dengan kitab Manavadharmasastra ini adalah jenis Kalpa.
Asal usul kitab Kalpa ini bersumber pada brahmana samhita dan ditulis dalam
bentuk sutra atau sloka. Isinya berkisar pada ajaran-ajaran keagamaan dan
merupakan kitab pedoman (manual) bagi umat Hindu dalam kehidupan mereka
sehari-hari. berdasarkan penggunaannya, kelompok Kalpa vedangga ini terdiri
atas empat jenis menurut topiknya sendiri-sendiri. Keempat kelompok itu ialah :
a. Srauta-sutra, (manual untuk upacara
besar)
b. Grhya-sutra, (manual untuk orang
berumah tangga)
c. Dharma-sutra, (manual untuk
melakukan pemerintahan)
d. Sulva-sutra, (manual untuk membuat
bangun-bangunan agama)
Penafsiran terhadap pasal-pasal
Manawa Dharmasastra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh
Kullukabhatta dan Medhiti di tahun 825 M. Kemudian beberapa Maha Rsi
memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa Dharmasastra menurut versinya
masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum Hindu, misalnya:
Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga. Para Maha Rsi yang melakukan
penafsiran-penafsiran pada Manawa Dharmasastra menyesuaikan dengan tradisi dan
kondisi setempat. Aliran yang berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan
Dayabhaga.
Di zaman Majapahit, Manawa
Dharmasastra lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian
kaidah-kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke-12 dipelopori
oleh tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan Apararka.
Dua tokoh pemikir Hindu, yaitu
Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa Manawa Dharmasastra adalah ajaran
dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan sekarang adalah zaman
Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan dharmasastra yang dipandang sesuai dengan
zaman masing-masing, yaitu:
·
Manawa
Dharmasastra sesuai untuk zaman Krta Yuga
·
Gautama
Dharmasastra sesuai untuk zaman Treta Yuga
·
Samkhalikhita
Dharmasastra sesuai untuk zaman Dwapara Yuga
·
Parasara
Dharmasastra sesuai untuk zaman Kali Yuga
Dari temuan-temuan di atas dapatlah
disimpulkan bahwa ajaran Manu atau Manawa Dharmasastra tidaklah dapat
diaplikasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi, waktu, dan tempat
(desa-kala-patra).
Reformasi Hukum di zaman Majapahit
menghasilkan produk-produk hukum lainnya seperti: Sarasamuscaya, Syara Jamba,
Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama, Dewagama, Kutaramanawa, Adigama, Krta
Sima, Paswara, dan lain-lain.
Kutaramanawa yang disusun pada
puncak kejayaan Majapahit menjadi acuan pokok terbentuknya Hukum Adat di
Indonesia, karena penguasa Majapahit berkepentingan menjaga tertib hukum di
kawasan Nusantara.
Zaman terus beredar dan peradaban
manusia meningkat dengan segala aspeknya. Pada tahun 1951 Raad Kerta atau
Lembaga Peradilan Agama Hindu (di Bali) dihapuskan.
Ditinjau dari segi kehidupan
beragama, penghapusan Raad Kerta merupakan kemunduran yang serius karena pada
kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali bersandar pada hukum-hukum agama
Hindu, namun bila terjadi sengketa atau perkara Pemerintah RI menyediakan lembaga
Hukum Peradilan Perdata atau Pidana yang mengacu pada sumber hukum Eropa
(Belanda) dan Yurisprudensi.
Wacana yang berkembang akhir-akhir
ini umat Hindu di Bali menginginkan adanya Lembaga Peradilan Agama Hindu yang
dapat memutuskan kemelut perbedaan pendapat dan tingkah laku dalam melaksanakan
kehidupan beragama.
Kebutuhan ini dipandang mendesak
agar terwujud kedamaian dan keamanan individu. Sampai saat ini nampaknya
keinginan itu hanya sebatas wacana saja karena belum ada upaya-upaya riil dari
lembaga-lembaga terkait untuk menyusun tatanan organisasi dan acuan hukum bagi
suatu lembaga peradilan.
Peninjauan
ruang lingkup hukum hindu dapat kita lihat dalam berbagai title hukum
(Wyawahara).
Tentunya dengan
mempelajarai ruang lingkup hukum hindu ini kita diharapkan dapat menjelaskan
ruang lingkup hukum hindu dan
mengidentifikasi ruang lingkup hukum hindu sesuai dengan title hukum hindu.
A. Wyawahara di dalam Kitab
Dharmasutra
Ada beberapa
kitab yang ditulis oleh Gautama, Apastamba dan Baudhayana. Diantara ketiga kitab tersebut
tidak sama semuanya. Gautama pada mulanya membahas aspek hukumnya dalam
rangkaian peletakan dasar tentang fungsi dan tugas Raja sebagai pemegang Dharma,
terdapat dalam bab XII. Isi pokoknya membahas tentang hukum pidana dan perdata.
Astamba
menambah pokok-pokok materi wyawahara dengan beberapa masalah yang belum dibahas
dalam kitabnya gautama,
misal: Hukum perzinahan;
Hukum karena melakukan bunuh diri, pencurian, Penggunaan tanah; Hukum karena terus menerus melanggar Dharma; Hukum yang
tmbul karena sengketa antara buruh dan majikan; Hukum yang timbul karena
penyalahgunaan hak milik.
Baudhayana
salah seorang pemuka dan penulis
Dharmasutra didalam kitabnya, bab mengenai Rajadharma membahas pokok-pokok hukum dalam
beberapa topik.
B. Pokok
Bahasan di Dalam Kitab
Dharmasastra
Kitab hukum
yang lebih muda adalah kitab Dharmasastra atau yang dikenal pula sebagai kitab Smrti.
Para penulisnya adalah:
Wisnu, Manu, Yajnawalkya, Narada, Brhaspati dan
Kautilya.
Berdasarkan
Kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, dibedakan
adanya 18 title hukum
Hindu, yaitu:
Rinadana,
Niksepa, Aswamiwikraya, Sambhuyasamuttana, Dattasyanapakarma, wetanadana, Samwidwyatikarma, Keayawikrayanusaya, Swamipalawiwada, Wakparusya, Dandaparusya, steya, Sahasa, Strisamgraham, Stripundharma, Wibhaga, Dyutasamahwaya.
Menurut
Kautilya membagi Hukum Hindu menjadi dua bidang yaitu bidang hukum publik dan
bidang hukum privat. Adapun pembagian hukum Hindu yang dimaksud adalah :
1. Hukum Pidana
Hindu yang disebut dengan kantaka Doshana,yaitu institusi yang termasuk dalam
bidang hukum publik.
2. Hukum Perdata
Hindu yang disebut dengan Dharmasthya,yaitu suatu institusi yang termasuk dalam
bidang hukum privat.
A. Hukum Pidana
Hindu
Hukum Pidana
Hindu menurut Kautilya disebut Kantaka Sodhana. Kantaka Sodhana
dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu: dalam arti Subyektif dan dalam arti Obyektif.
1. Kantaka Sodhana
dalam arti Subyektif
Kantaka sodhana
dalam arti subyektif disebut juga Ius Puniedi,yaitu sejumlah
peraturan-peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan yang dilarang.
2. Kantaka Sodhana Dalam Arti Obyektif
Kantaka Sodhana
dalam arti obyektif disebut juga Ius Poenale,yaitu sejumlam peraturan-peraturan
yang berisikan larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang mana pelanggarnya
dapat diancam dengan suatu hukuman. Kantaka sodhana dalam arti obyektif ini
dapat dibedakan menjadi dua,yaitukantaka sodhana Material dan kantaka sodhana
Formal.
B. Hukum Perdata
Hindu
Menurut
Kautilya Hukum Perdata Hindu termasuk dalam hukum privat. Hukum Perdata Hindu
disebut dengan Dharmasthya. Oleh karena termasuk dalam hukum privat , maka
hukum ini menjamin kepentingan-kepentingan pribadi.
Mengenai hukum
perdata hindu diatur menyebar di berbagai buku pada Weda Smrti. Yang dibahas
dalam di dalam hukum perdata hindu diantaranya sebagai berikut :
1. hal-hal yang
berkaitan dengan perkawinan (wiwaha) diatur dalam buku III dan IX Weda Smrti.
2. Mengenai hukum
kekeluargaan dan kewarisan diatur didalam buku IX Weda Smrti.
3. Mengenai Hukum
Hibah, pemberian dan
hadiah diatur didalam buku X Weda Smrti.
4. Mengenai
Perjanjian atau perikatan diatur didalam buku VIII Weda Smrti.
5. Mengenai Hukum
dagang diatur di dalam buku VIII Weda Smrti.
Mengenai Hukum Perbankan diatur didalam
buku VIII Weda Smrti.
2.2 Yuga
Dalam
ajaran agama Hindu, Yuga atau Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman
yang terjadi di muka bumi, yang terbagi menjadi empat zaman, yaitu Satyayuga
atau Kerta Yuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga. Menurut ajaran Hindu,
keempat zaman tersebut membentuk suatu siklus, sama seperti siklus empat musim.
Siklus tersebut diawali dengan Satyayuga menuju Kaliyuga.
Setelah
Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Perubahan zaman dari
Satyayuga (zaman keemasan) menuju Kaliyuga (zaman kegelapan) merupakan
kenyataan bahwa ajaran kebenaran dan kesadaran sebagai umat beragama lambat
laun akan berkurang, seiring bertambahnya umat manusia dan perubahan zaman.
Dimana pada akhirnya manusia akan merasa bahwa di suatu masa yang sudah tua,
ketika bumi renta, ketika kerusakan moral dan pergeseran budaya sudah bertambah
parah, maka sudah saatnya untuk kiamat.
Jika
diibaratkan seperti Lembu Dharma (simbol perkembangan moralitas), keempat
siklus Yuga (Caturyuga) seperti lembu yang berdiri dengan empat kakinya, dimana
setiap zaman berganti, kaki lembu juga ikut berkurang satu, simbol moralitas
yang berkurang setiap zaman. Zaman Satyayuga seperti lembu yang berdiri dengan
empat kaki, moralitas mantap. Sedangkan zaman Tretayuga seperti lembu yang
berdiri dengan tiga kaki. Masa Dwaparayuga dengan dua kaki, dan masa Kali Yuga hanya
dengan satu kaki. Pada zaman itu, moralitas tidak bisa berdiri lagi dengan
mantap.
Siklus
tersebut dimulai dari zaman keemasan (Satyayuga), dan diakhiri oleh zaman
kegelapan (Kaliyuga). Setelah zaman kegelapan berakhir, dimulailah zaman
keemasan yang baru, sama halnya seperti perubahan musim dingin ke musim semi,
dan siklus tersebut berlangsung selama ribuan tahun. Ketika masa kegelapan
berakhir, maka zaman baru akan muncul, dimana manusia-manusia yang memiliki
sifat jahat sudah dibinasakan sebelumnya untuk memulai kehidupan baru yang
lebih damai. Itulah siklus masa dari Satyayuga menuju Kaliyuga, dan Kaliyuga
akan kembali kepada Satyayuga. Periode dari Satyayuga menuju Kaliyuga disebut 1
Mahayuga. Setelah Mahayuga berlangsung selama 71 kali, maka tercapailah suatu
periode yang disebut Manwantara. Setelah 14 Manwantara berlangsung, maka
dicapailah suatu periode yang disebut Kalpa. Menurut ajaran Hindu, pada saat
periode tersebut dicapai, maka alam semesta dihancurkan.
Menurut
pengamatan beberapa para ahli juga bersumber dari sastra-sastra agama yang
pernah mereka baca, sesungguhnya manusialah yang menyebabkan zaman itu
berganti. Manusialah sebagai penentu kapan zaman Kaliyuga itu datang, kapan dia
akan berakhir dan kapan jaman Kerta itu akan datang.
2.2.1 Karakter Setiap Zaman
1. Kertayuga
Satyayuga
atau Kertayuga, merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga. Siklus Yuga merupakan siklus yang
berputar seperti roda. Setelah Satyayuga berakhir, untuk sekian lamanya kembali
lagi kepada Satyayuga. Satyayuga berlangsung kurang lebih selama 1.700.000
tahun.
Masa kerta yuga adalah merupakan masa yang penuh
kedamaian dimana pada masa tersebut tidak ada manusia yang berbuat adharma
walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa itu selalu mematuhi
ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain baik dalam
pikiran, perkataan maupun perbuatan. Yang ada dalam kehidupan manusia pada masa
tersebut adalah : berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan diatas
jalannya dharma sehingga jaman tersebut sering juga dinamakan: Zaman Satya Yuga
yang mengandung arti bahwa pada masa itu manusia hidup didalam kesetiaan.
Satyayuga merupakan zaman keemasan,
ketika orang-orang sangat dekat dengan Tuhan. Hampir tidak ada kejahatan.
Pelajaran agama dan meditasi (mengheningkan pikiran) merupakan sesuatu yang
sangat penting pada zaman ini. Konon rata-rata umur umat manusia bisa mencapai
4.000 tahun ketika hidup di zaman ini. Menurut Nathashastra, di masa Satya Yuga tidak ada Natyam karena pada masa itu semua orang
berbahagia.
Pada masa Satyayuga, orang-orang
tidak perlu menulis kitab, sebab orang-orang dapat berhubungan langsung dengan
Yang Maha Kuasa. Pada masa tersebut, tempat memuja Tuhan tidak diperlukan,
sebab orang-orang sudah dapat merasakan di mana-mana ada Tuhan, sehingga
pemujaan dapat dilakukan kapanpun dan di manapun.
Pada masa Satyayuga,
kesadaran umat manusia akan Dharma (kebenaran, kebajikan, kejujuran) sangat
tinggi. Budaya manusia sangat luhur. Moral manusia tidak rusak. Kebenaran
sangat dijunjung tinggi sebagai aturan hidup. Hampir tidak ada kejahatan dan
tindakan yang melanggar aturan. Maka dari itu, zaman tersebut disebut juga
‘zaman keemasan’.
2. Tretayuga
Masa Tretayuga merupakan zaman kerohanian. Sifat-sifat kerohanian sangat
jelas tampak. Agama menjadi dasar hidup. Meskipun begitu, orang-orang mulai
berbuat dosa dan penjahat-penjahat mulai bermunculan. Namun semua masih
berjalan seimbang. Aktivitas yang berhubungan dengan agama dan kerohanian
terjadi dimana-mana dan sangat erat dengan kehidupan manusia. Pada zaman ini
muncul berbagai peristiwa. Peristiwa yang paling terkenal adalah munculnya Awatara
Wisnu
yang kelima, keenam, dan kedelapan, yakni: Wamana, Parasurama,
dan Rama.
Pada zaman ini, seseorang yang pandai, memiliki pengetahuan dan wawasan luas,
serta ahli filsafat akan sangat dihormati.
3. Dwaparayuga
Zaman ini
berlangsung selama 864.000 tahun. Merujuk pada apa yang tertulis di dalam
Purana, zaman Dwaparayuga berakhir di kala Kresna kembali ke kediaman abadinya
di Waikuntha. Pada masa Dwaparayuga, manusia mulai bertindak
rasional. Penjahat-penjahat dan orang-orang berdosa bertambah. Kelicikan dan
kebohongan mulai tampak. Yang diutamakan pada zaman ini adalah pelaksanaan
ritual. Asalkan mampu melaksanakan upacara, maka seseorang akan dihormati.
Akhir zaman Dwapara dimulai ketika Kresna meninggal, setelah itu dunia memulai
zaman terakhir, Kali Yuga.
4. Kaliyuga
Zaman kaliyuga merupakan zaman kehancuran. Banyak
manusia mulai melupakan Tuhan. Banyak moral manusia yang rusak parah. Kaum pria
banyak berkuasa dan wanita dianggap sebagai objek pemikat nafsu mereka. Banyak
siswa berani melawan gurunya. Banyak orang-orang yang mencari nafkah dengan
tidak jujur. Dan banyak lagi kepalsuan, kebohongan, kejahatan, dan tindak
kekerasan. Pada zaman ini, uang yang paling berkuasa. Hukum dan jabatan mampu
dibeli dengan uang. Sekarang
ini banyak para sulinggih yang belum melaksanakan swadharmaning seorang
sulinggih dengan benar. Ada kecenderungan posisi sulinggih menjadi semacam
komuditas bermotif ekonomi. Banyak para sulinggih yang seolah-olah menempatkan
diri sebagai produsen yang mengikuti alur umat yang ditempatkan dalam posisi
konsumen. Suatu contoh sederhana saja, saat ada orang tangkil nunasin dewasa
nganten misalnya, walaupun menurut pewarigan belum ada hari baik untuk nganten
tetapi karena permintaan umat yang lebih memikirkan efisiensi waktu maka banyak
sulinggih yang memperbolehkan, padahal seharusnya sulinggihlah yang memberikan
tatanan yang benar yang diikuti oleh umat, bukan sebaliknya. Karena secara
tidak langsung keadaan seperti ini juga disebabkan oleh perilaku seorang
sulinggih. Seperti dijelaskan dalam sastra "yan sira sang wiku tan
nepeh kalinganing sastra, rug ikang rat" Jika para wiku
selaku pemimpin umat tidak mentaati aturan sastra, maka hancurlah dunia ini.
2.2.1 Jangka
Waktu pada Masing-masing Zaman
Dalam Caturyuga, setiap zaman yang berlangsung memiliki jangka waktu.
Menurut salah satu perhitungan tradisional, masing-masing zaman memiliki jangka
waktu yang berbeda, dan bila digabungkan, akan membentuk suatu periode yang
disebut 1 Mahayuga. Secara singkat dijabarkan seperti di bawah ini:
Satyayuga
(1.728.000 tahun)
Tretayuga
(1.296.000 tahun)
Mahayuga
(4.320.000 tahun)
Dwaparayuga
(864.000 tahun)
Kaliyuga
(432.000 tahun)
Jangka waktu tersebut menjadi dasar perhitungan yang terkenal, seperti
yang dijabarkan kitab Bhagawadgita yang disusun oleh Om Visnupada A.C.B. Swami
Prabhupada. Menurut kitab tersebut, masa Kali Yuga dimulai ±5.000 tahun yang
lalu (konon pada saat raja Yudistira naik tahta dan Kresna meninggal, yaitu
tahun 3102 SM) dan akan terus berlangsung, kurang lebih selama 432.000 tahun.
Sementara itu Sri Yukteswar memiliki perhitungan lain. Menurut Sri
Yukteswar, dalam bukunya The Holy Science, Satyayuga berlangsung selama 4.800
tahun, Tretayuga berlangsung selama 3.600 tahun, Dwaparayuga berlangsung selama
2.400 tahun, dan Kaliyuga berlangsung selama 1.200 tahun.
Menurut Sri Yukteswar, Kaliyuga dimulai pada tahun 499 SM, dan semenjak
tahun 1699 M, dunia ini sudah melalui masa Dwaparayuga kembali. Siklus yang
dimaksud oleh Sri Yukteswar adalah siklus yang mundur ke belakang, bukan
kembali ke awal.
Masa 1.200 tahun menurut perhitungan Sri Yukteswar konon merupakan jangka
waktu yang sebenarnya dari zaman Kaliyuga. Namun masa tersebut bukan tahun
biasa seperti tahun di bumi, melainkan tahun Dewa. Masa 1.200 tahun Dewa sama
dengan masa 432.000 tahun di bumi.
2.3 Perbedaan Kegiatan Beragama di Masing-masing
Zaman Menurut Manavadharmasastra
Tapah pararn kerta yuge
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge
(Manawa Dharmasastra, I.86)
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge
(Manawa Dharmasastra, I.86)
Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta,
prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara
yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali Yuga adalah Dana Punia.
Ada lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan
agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam
Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha,
sakti, desa kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan
hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani
setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).
Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan
agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas.
Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika
kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu
berdasarkan konsep Yuga — Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali
Yuga. Keadaan zaman ditiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara
beragama-pun berbeda-beda pada setiap zaman.
Menurut Manawa Dharmasastra 1.86 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini,
prioritas beragama-pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta
Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga
dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya
dan pada zaman Kali Yuga beragama dengan prioritas melakukan dana punia.
A.
Kehidupan beragama dengan bertapa di zaman Kertayuga
Pada zaman
Kertayuga kegiatan beragama diprioritaskan dengan melaksanakan tapa atau
semadhi. Pada zaman Kertayuga, pikiran orang umumnya murni. Mereka tidak memiliki
gangguan pikiran. Tidak ada bioskop, hotel, dan gangguan-gangguan sejenis
lainnya. Oleh karena itu bertapa atau bermeditasi mudah dan wajar bagi mereka.
itulah sebabnya mengapa perenungan diberlakukan bagi orang-orang pada zaman
Kertayuga ini. Kegiatan bertapa yang dimaksud ialah usaha pengekangan diri
dengan yoga dan semadhi. Istilah tapa diambil dari bahasa Sansakerta, yang
bermakna olah batin dengan mengasingkan diri dari keramaian dunia serta menahan
hawa nafsu. Definisi bertapa menurut Kamus Bahasa lndonesia. “Bertapa adalah
pergi ke tempat yang sunyi dan lengang, menjauhkan diri dari keramaian untuk
berkhalawat, menyucikan diri dari dosa, untuk memperoleh kesaktian, atau
kekuatan batin.” (Kamus Umum Bahasa lndonesia: 1434). Dan dalam kamus lain,
“Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan nafsu
(makan, minum, tidur, birahi) untuk mencari ketenangan batin.” (Kamus Besar
Bahasa lndonesia: 1142).
Bertapa sering juga dikatakan sebagai bermeditasi, yang
menurut definisinya adalah memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai
sesuatu. Saat manusia
bermeditasi, aktivitas ragawi mati total. Semua fungsi diambil alih oleh
“kesadaran”, buah konsentrasi penuh yang menggumpal menjadi sebuah kekuatan
nyata di luar kemampuan fisik. Saat meditasi, raga memang tidak membutuhkan
asupan nasi atau air. Partikel-partikel yang terkandung di dalam udara
(oksigen), sangat kaya. Ia masuk melalui pori-pori dalam kulit, terserap ke
sel-sel darah, dan mengalir menjadi energi. Karena itulah seseorang yang
melakukan kegiatan bertapa bisa menjalani hari-harinya tanpa makan atau minum.
Bertapa
sama artinya dengan melakukan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan begitu
kita dapat mengontrol pikiran. Untuk itu orang yang sering bertapa kerap kali
disebut seorang spiritual. Seorang spiritual adalah orang yang hidup setiap
harinya merenungkan Tuhan. Dengan bertapalah orang yang hidup di zaman
kertayuga menjalani kehidupan beragamanya. Sebab dengan bertapa mereka dapat menjaga
pikirannya agar seimbang dan tidak terpaku pada sesuatu dan tidak tergoyahkan
oleh hal-hal yang buruk. Kita harus berpegangan teguh kepada Tuhan.
Bertapa
pada Tuhan yang mengetahui segalanya, yang tidak tersentuh oleh keinginan dan
tidak tergoyahkan oleh nafsu, membuat orang seperti Tuhan itu sendiri. Untuk
membuat diri seimbang seperti Tuhan, orang harus memuja Tuhan. Pendita
Tiruvalluvar berkata bahwa kita harus satukan diri kita dengan-Nya yang tanpa
ikatan keinginan untuk melepaskan diri kita dari ikatan keinginan segala
sesuatunya. Satukan dirimu dengan Tuhan untuk terbebas dari dunia ini.
Apabila
kita dapat melepaskan diri kita dari segala keinginan maka kita akan memperoleh
ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa ini kita peroleh karena kondisi kita yang
telah terlepas dari sifat-siat tertentu dan pengaruh-pengaruh dari orang lain.
Dalam Shatpadistotra Sri Sankara bermohon kepada Tuhan sebagai berikut :
avinayamapanaya
damaya manah
samaya vishayatrishnam
vistaraya bhutadayam
Artinya :
‘Oh Tuhan, enyahkanlah kesombonganku
(segala sesuatu yang tidak luhur budi) kendalikan pikiranku, musnahkan
kehausanku akan kenikmatan dunia, bentangkan kasih sayangku untuk semua insan.’
Jelaslah,
apabila seseorang telah ditolong untuk melepaskan kesombongannya, mengendalikan
pikirannya, menghalangi hawa nafsunya, dan merasa kasih sayang yang mendalam
kepada sesamanya di dunia, maka ia secara otomatis akan mencapai santi
(ketenangan jiwa) dan menyeberangi lautan kesengsaraan (samsara).
Maka tidak
heran bila zaman Kertayuga disebut sebagai zaman keemasan. Sebab kesadaran
umat manusia akan Dharma (kebenaran, kebajikan, kejujuran) pada zaman itu sangat
tinggi. Budaya manusia sangat luhur. Moral manusia tidak rusak. Kebenaran
sangat dijunjung tinggi sebagai aturan hidup. Hampir tidak ada kejahatan dan
tindakan yang melanggar aturan.
B. Jnana Prioritas Utama di Zaman
Tertayuga
Pada zaman Tertayuga, ada perwujudan Awatara dan orang-orang secara mudah dapat memuja langsung pada Tuhan. Oleh karena itu pemujaan
dinyatakan sebagai bentuk prinsip Sadhana pada masa itu. Pada zaman Tertayuga Jnana
adalah jalan pengetahuan. Moksa dicapai melalui pengetahuan tentang Brahman.
Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh
tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah awidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil,
karena ketidaktahuannya secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari
Brahman. Awidya bertindak seperti
tirai atau layar dan menyelubungi Jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu
bersifat Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahman Jnana membuka selubung
ini dan membuat Jiwa bersandar pada Sat Cit Ananda Swarupa (sifat utamanya
sebagai keberadaan kesadaran kebahagiaan mutlak) dirinya.
Jnana atau budi pekerti adalah pelunasan segala penderitaan.
Penderitaan adalah kondisi mental seseorang yang timbul dari identifikasi diri
yang salah dari atma pada badan jasmaninya. Ini disebut dehatmabuddhi. Jiwa
sejati seseorang adalah kenyataan yang permanen dan kekal abadi dari sifatnya.
Ini disebut atman. Ini adalah “aku” seorang manusia. Ini harus dikacaukan
dengan badan jasmani serta bagian-bagiannya. Pengertian “aku” harus dipisahkan
dari badan jasmani. Apabila ini terjadi, penderitaan akan dimengerti sebagai
bagian dari pada badan jasmani, dan orang yang bersangkutan tidak terkena
akibatnya. Setelah memisahkan atmanya dari badan jasmaninya, seorang siswa
spiritual belajar di bawah bimbingan seorang guru yang kompeten untuk menyadari
penyatuannya dengan Yang Maha Kuasa. Caranya dengan jalan meditasi atas
deklarasi kitab-kitab suci, yang menyatakan atman ini adalah Brahman. Akhirnya
ia mencapai kesadaran penyatuan dengan Yang Maha Kuasa, dan memiliki pengalaman
perasaan kudus dari ketidak-perbedaannya dengan Brahman. Setelah mencapai
tujuan kesadaran bersatu dengan Brahman yang teragung ini, maka tidak ada lagi
yang dipikirkan lebih tinggi dari itu. Inilah tingkat tertinggi dari budi
pekerti jnana. Orang yang mencapai ini adalah seorang jnani sejati. Seorang
jnani demikian tidak akan tergoyahkan oleh penderitaan yang paling dalam
sekalipun. Ini telah diyakinkan oleh Sri Krisna dalam Bhagavadgita VI. 22:
yam labdhacha aparam labham
manyate nadhikam tatah
yasminsthitho na duhkena
guruna pi vichalyate
Artinya:
‘Dimana tercapai apa yang dipikirkan
dan tiada lagi lebih mulia di luar itu
yang dapat dicapai, di sana ia tertuju
tiada tergoyahkan oleh duka terberat sekalipun’
Jnana bukan hanya pengetahuan
kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan
kecerdasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan Yang
Tertinggi yang merupakan para widya.
C. Yadnya
Prioritas Beragama di Zaman Dwaparayuga
Pada zaman Dwaparayuga kegiatan beragama
diprioritaskan dengan melaksanakan yadnya. Pada zaman Dwaparayuga bahan-bahan
untuk melakukan yadnya atau pengorbanan dapat diperoleh secara mudah.
Orang-orang memiliki kecenderungan aktif. Oleh karena itu mudah bagi mereka
untuk melaksanakan upacara Agnihotra,
Jyotistoma, Darsa-Paurnima dan yadnya-yadnya lainnya. Itulah sebabnya
mengapa yadnya dinyatakan sebagai bentuk luar dari sanatana Dharma pada zaman itu.
Ada lima upacara kurban harian besar yang harus
dilaksanakan oleh setiap kepala keluarga, yaitu, 1. Brahma Yajna, yang disebut juga Weda
Yajna, yaitu kurban kepada Brahman atau kitab suci Weda, atau para orang
suci; 2. Dewa Yajna, kurban kepada
para Dewa; 3. Pitr Yajna, kurban
kepada para leluhur; 4. Bhuta Yajna, kurban
kepada semua makhluk; 5. Manusya Yajna, kurban
kepada sesame manusia. Pelaksanaan kelima yajna
ini berguna untuk evolusi atau pertumbuhan spiritual seseorang. Secara
perlahan-lahan ia belajar bahwa ia bukanlah kesatuan yang terpisah atau
terisolasi, tetapi bagian dari keseluruhan yang besar. Ia mendapatkan
pengetahuan, dengan mempelajari kitab-kitab suci yang ditulis oleh para rsi agung. Ia mendapat bantuan dari
teman-teman, kerabat dan keluarganya. Orang tuanya memberinya badan fisik yang
dihidupi oleh susu sapi, nasi, sayur-mayur dan buah-buahan. Kelima unsur
membantunya dan ia tak dapat hidup tanpa oksigen dan air. Para Dewa dan Pitr memberkahinya. Oleh karena itu, ia
berhutang lima macam kepada alam semesta ini, dan harus membayarnya kembali
dengan melaksanakan kelima upacara kurban harian ini. Selanjutnya
bermacam-macam serangga terbunuh olehnya tanpa disengaja, selama berjalan,
menyapu, menumbuk, memasak dan sebagainya. Dan dosa ini terhapuskan dengan
pelaksanaan upacara kurban ini.
Mengajarkan dan belajar kitab suci, merupakan Rsi
Yajna; Tarpana atau persembahan air pada arwah leluhur dan upacara sraddha,
merupakan Pitr Yajna; Homa atau persembahan kepada api, merupakan Dewa Yajna;
Persembahan makanan kepada semua makhluk ciptaan, merupakan Bhuta Yajna.
Dengan melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan
sehari-hari dan simpati, manusia mengembangkan sifat welas asih dan melenyapkan
kebencian. Keakuan, hati yang kaku secara perlahan-lahan dapat dilembutkan, dan
ia mengusahakan kasih sayang universal. Ia mencoba untuk merasakan kesatuannya
dengan semua makhluk, dan perasaannya yang dahulu terpisah disebabkan keakuan
dan egoism, secara perlahan-lahan berkurang dan akhirnya lenyap. Keseluruhan
kehidupannya hendaknya dijadikan kehidupan pengorbanan dan kewajiban.
D. Prioritas
Beragama dengan Dana Punia di Zaman Kaliyuga
Orang-orang pada zaman Kaliyuga banyak mendapatkan gangguan pada
pikirannya. Mereka kurang memiliki kekuatan kehendak dan daya penalaran atau
penyelidikan rasional. Sangat sulit untuk memperoleh bahan-bahan untuk
melakukan upacara kurban. Selain itu, orang-orang di zaman Kaliyuga disibukkan
oleh pekerjaan mereka demi mengejar materi sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu,
untuk menerapkan ajaran agama kebanyakan mereka melakukan dana punia agar lebih
instan. Dana punia menurut Hindu
merupakan salah satu ajaran yang harus dihayati dan diamalkan. Pengertian dana punia
adalah pemberian yang baik dan suci dengan tulus ikhlas sebagai salah satu
bentuk pengamalan ajaran dharma. Sesuai dengan asal kata dana punia, dana
berarti pemberian dan punia berarti selamat, baik, bahagia, indah dan
suci. Dana punia merupakan suatu sarana untuk meningkatkan sradha dan
bhakti kita kepada Tuhan YME, selain itu dengan berdana punia akan membangun
sikap kepedulian kita terhadap sesama.
Ajaran dana
punya dilandasi oleh ajaran Tattvam Asi, yang berarti aku adalah kamu, kamu
adalah aku, kita semua adalah sama. Pandanglah setiap orang seperti diri kita
sendiri yang memerlukan pertolongan, bantuan atau perlindungan untuk mewujudkan
kebahagiaaan hidup yang sejati, seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda,
“vasudhaivakutumbakam” semua makhluk adalah bersaudara. Manusia merupakan makluk
sosial dalam arti manusia tidak dapat hidup sendiri sehingga memerlukan bantuan
orang lain. Dengan menghayati dan memahami ajaran Tat Twam Asi sudah semestinya
terjalin hubungan yang baik antar sesama. Jangan sampai kita sebagai manusia
saling menyakiti satu sama lain, melakukan tindakan anarkis yang merugikan
orang lain, atau bahkan tega membunuh sesama manusia. Hendakanya kita saling
menolong dan memberikan perlindungan terhadap sesama, bila menjadi orang kaya
bantulah orang – orang yang miskin, bila menjadi orang yang kuat bantulah orang
– orang yang lemah, sehingga kehidupan yang harmonis dapat terwujud, yang
merupakan implementasi dari ajaran Tat Twam Asi.
Dalam Kitab Manawadharmasastra berisi tentang Hukum Hindu, termasuk
didalamnya menjelaskan tentang dana punia. Dalam kitab Manavadharmasastra,
terkandung ajaran yang menjelaskan tentang dana punia, sebagai berikut :
” caktito’pacamanebhyo data-wyam grha medhina,
samwaibhagasca bhutebhyah kartawyo’nuparodhatah ”
artinya :
“Seorang
kepala keluarga harus memberi makan sesuai kemampuannya kepada mereka yang
tidak menanak dengan sendirinya (yaitu pelajar dan pertapa) dan kepada semua
makhluk. Seseorang hendaknya membagi-bagikan makanan tanpa mengganggu
kepentingannya sendiri”. (Manawadharmasastra IV.32).
” triswapye tesu dattam hi widhina apyarjitam
dhanam,
datur bhawatyan arthaya paratra daturewa ca ”
artinya :
“Walaupun
harta itu dperoleh sesuai menurut hukum (dharrna) tetapi bila tidak didermakan
(disedekahkan/diamalkan) kepada yang layak, akan terbenam ke kawah neraka”.
(Manawadharmasastra IV. 193).
” sraddhayestam ca purtam ca
nityam kuryada tandritah,
craddhakrite hyaksaye te
bhawatah swagatairdhanaih ”
artinya :
“Hendaknya
tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan memberikan hartanya dan mempersembahkan
sesajen dengan penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan
didermakan akan memperoleh tempat tertinggi (Moksa)”. (Manawadharmasastra
IV.226).
” yatkimcidapi data wyam yacitenanasuyaya,
utpatsyate hi tatpatram yattarayati sarwatah ”
artinya :
“Apabila
dimintai, hendaknya ia selalu memberikan sesuatu, walaupun kecil jumlahnya,
tanpa perasaan mendongkol, karena penerima yang patut akan mungkin ditemui yang
menyelamatkannya dari segala dosa”. (Manawadharmasastra IV.228).
” waridastriptimapnoti sukha maksayyamannadah,
tila pradah prajamistam dipadascaksur uttamam ”
artinya :
“Ia yang
berderma air akan memperoleh kepuasan, berderma makanan akan memperoleh pahala
kenikmatan, yang berderma biji-bijian akan memperoleh keturunan, dan yang
berderma mampu akan memperoleh pengetahuan,yang sempurna”. (Manawadharmasastra
IV. 229).
“bhumido bhumimapnoti dirgam ayurhiranyadah,
grihado’gryani wesmani rupyado rupam uttamam ”
artinya :
“Yang
berderma tanah akan memperoleh dunia yang layak baginya, berderma emas
memperoleh umur panjang, berderma rumah akan memperoleh karunia yang agung,
yang berderma perak akan memperoleh keindahan”. (Manawadharmasastra IV. 230).
“wasodascandrasalokyam aswisalokyamaswadah,
anaduddah sriyam pustam godo bradhnasya wistapam ”
artinya :
“Yang
berderma pakaian akan memperoleh dunia yang layak di alam ini dan di bulan
nanti, yang berderma kuda memperoleh kedudukan seperti dewa Asvina, yang
berderma kerbau akan memperoleh keberuntungan dan yang berderma lembu akan mencapai
suryaloka (Sorga)”. (Manawadharmasastra IV. 231).
” yena yena tu bhawena yadyaddanam prayacchati,
tattattenaiwa bhawena prapnoti pratipujitah”
artinya :
“Apapun juga niatnya untuk
berdana punia pahala itu akan diperolehnya di kemudian hari”. (Manawadharmasastra
IV. 234).
” yo’rcitam pratigrihnati dadatyarcitamewa ca,
tawubhau gacchatah swargam narakam tu wiparyaye ”
artinya :
“Ia yang
dengan hormat menerima pemberian dana punia ia dengan tulus memberikannya
keduanya mencapai sorga, dan apabila pemberian dan penerimaannya tidak tulus
akan jatuh ke neraka”. (Manawadharmasastra IV. 235).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Manavadharmasastra merupakan sebuah kitab
Dharma yang dihimpun dalam bentuk sistematis oleh Bhagawan Bhrgu, salah seorang
penganut ajaran Manu. Kitab ini dianggap paling penting bagi masyarakat Hindu
dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga. Wedangga adalah kitab
yang merupakan batang tubuh Weda yang tidak dapat dipisahkan dengan Weda Sruti
dan Weda Smrti.
2. Dalam ajaran agama Hindu, Yuga atau
Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi, yang
terbagi menjadi empat zaman, yaitu Satyayuga atau Kerta Yuga, Tretayuga,
Dwaparayuga, dan Kaliyuga.
3. Karakter
pada masing-masing zaman, yaitu:
a. Masa
kerta yuga adalah merupakan masa yang penuh kedamaian Manusia pada masa itu
selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain
baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan.
b. Masa
Tretayuga merupakan zaman kerohanian. Sifat-sifat kerohanian sangat jelas
tampak. Agama menjadi dasar hidup. Meskipun begitu, orang-orang mulai berbuat
dosa dan penjahat-penjahat mulai bermunculan.
c. Pada
masa Dwaparayuga, manusia mulai bertindak rasional. Penjahat-penjahat dan
orang-orang berdosa bertambah. Kelicikan dan kebohongan mulai tampak.
d. Zaman
kaliyuga merupakan zaman kehancuran. Banyak manusia mulai melupakan Tuhan.
Banyak moral manusia yang rusak parah.
4. Menurut Manawa Dharmasastra
1.86 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini, prioritas beragama-pun menjadi
berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama
diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada
jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kali Yuga
beragama dengan prioritas melakukan dana punia.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Drucker.
1991. Intisari Bhagawad Gita. Jakarta
: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia
G.
Pudja, M.A. dan Tjokorda Rai Sudharta, M.A. 2004. Manavadharmasastra (Manu Dharmasastra). Surabaya : Paramita
Nyoman
S. Pendit. 1993. Aspek-aspek Agama Hindu.
Jakarta: Pustaka Manikgeni
Rama
Navami. 1998. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya
: Paramita
Dr.
Mahendra Mittal. 2006. Intisari Weda.
Surabaya: Paramita
http//www.Manawa
Dharmasastra _ Beberapa Pemahaman Berkaca Rasa.htm
http//www.Manawa
Dharmasastra _ Stiti Dharma Onlinennn.htm
http//www.
MANAWADHARMASASTRA
_ Sastradahat.htm
http//www.
Parisada
Hindu Dharma Indonesia - Kewajiban Manusia Pada Zaman Kaliyuga.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar