Jumat, 13 Desember 2013

MANAVADHARMASASTRA


NI WAYAN MAHAYANI
NIM 12.1.5.6.1.40

 
JURUSAN PENERANGAN AGAMA HINDU
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR



BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang

               Kita sebagai umat beragama tentu saja melakukan segala macam cara untuk menunjukkan rasa bakti kita kepada Tuhan. Tentu saja hal ini kita lakukan sebagai wujud syukur kita atas segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan mengatakan dalam Gita “Siapa yang terus menerus mengingat Aku, sangat Kucintai. Karena itu, ingatlah Aku selalu. Persembahkan kepada-Ku pikiran dan akal budimu. Serahkanlah segala-galanya kepada-Ku. Maka engkau pasti akan mencapai Aku.
               Atas dasar itulah kita sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib melakukan kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan ajaran agama dan sesuai perintah dari Tuhan. Pengabdian adalah jalan yang mudah untuk memperoleh kebijaksanaan. Pengabdian adalah satu-satunya jalan menuju pengetahuan spiritual yang tertinggi.
               Ada banyak jalan yang dapat kita lakukan untuk mengabdi kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak juga kitab-kitab suci yang menyatakan kewajiban kita untuk berbakti dan mengabdi kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Wujud dan prioritas beragama yang dilakukan di masing-masing zaman dalam Mahayuga berbeda-beda. Hal ini dijelaskan dalam kitab Manavadharmasastra. Untuk itulah penulis tertarik membuat makalah ini yang berjudul “Prioritas Beragama dalam Mahayuga.”


  

  

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Sekilas Tentang Manavadharmasastra
Manavadharmasastra merupakan sebuah kitab Dharma yang dihimpun dalam bentuk sistematis oleh Bhagawan Bhrgu, salah seorang penganut ajaran Manu. Nama otoritas kitab dharmasastra ini disebut Manu dan dari nama itulah lahirnya nama dharmasastra. Seluruh ajaran dalam kitab ini dianggap memuat ajaran Bhagawan Manu. Bhagawan Bhrgu penerima ajaran Manu, adalah salah seorang dari sapta maharsi, yang berhasil menghimpun dan mensistematisir ajaran itu.
Kitab ini dianggap paling penting dan menarik dari sekian banyak kitab-kitab sastra yang memuat himpunan pokok ajaran Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Wedangga. Wedangga adalah kitab weda yang merupakan bagian batang tubuh dari Weda. Dharmasastra merupakan salah satu dari Sad Wedangga dan mempunyai arti serta kedudukan terpenting dalam masyarakat Hindu. Adapun yang dimaksud dengan Sad Wedangga (enam batang tubuh Weda) yaitu Siksa, Vyakarana, Chanda, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa.
Adapun jenis Vedangga terpenting dan yang ada hubungannya dengan kitab Manavadharmasastra ini adalah jenis Kalpa. Asal usul kitab Kalpa ini bersumber pada brahmana samhita dan ditulis dalam bentuk sutra atau sloka. Isinya berkisar pada ajaran-ajaran keagamaan dan merupakan kitab pedoman (manual) bagi umat Hindu dalam kehidupan mereka sehari-hari. berdasarkan penggunaannya, kelompok Kalpa vedangga ini terdiri atas empat jenis menurut topiknya sendiri-sendiri. Keempat kelompok itu ialah :

a.       Srauta-sutra, (manual untuk upacara besar)
b.      Grhya-sutra, (manual untuk orang berumah tangga)
c.       Dharma-sutra, (manual untuk melakukan pemerintahan)
d.      Sulva-sutra, (manual untuk membuat bangun-bangunan agama)
Penafsiran terhadap pasal-pasal Manawa Dharmasastra telah dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti di tahun 825 M. Kemudian beberapa Maha Rsi memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa Dharmasastra menurut versinya masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa aliran Hukum Hindu, misalnya: Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga. Para Maha Rsi yang melakukan penafsiran-penafsiran pada Manawa Dharmasastra menyesuaikan dengan tradisi dan kondisi setempat. Aliran yang berkembang di Indonesia adalah Mitaksara dan Dayabhaga.
Di zaman Majapahit, Manawa Dharmasastra lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian kaidah-kaidah hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke-12 dipelopori oleh tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan Apararka.
Dua tokoh pemikir Hindu, yaitu Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa Manawa Dharmasastra adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan sekarang adalah zaman Kaliyuga. Keduanya mengelompokkan dharmasastra yang dipandang sesuai dengan zaman masing-masing, yaitu:
·               Manawa Dharmasastra sesuai untuk zaman Krta Yuga
·               Gautama Dharmasastra sesuai untuk zaman Treta Yuga
·               Samkhalikhita Dharmasastra sesuai untuk zaman Dwapara Yuga
·               Parasara Dharmasastra sesuai untuk zaman Kali Yuga
Dari temuan-temuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Manu atau Manawa Dharmasastra tidaklah dapat diaplikasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi, waktu, dan tempat (desa-kala-patra).
Reformasi Hukum di zaman Majapahit menghasilkan produk-produk hukum lainnya seperti: Sarasamuscaya, Syara Jamba, Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama, Dewagama, Kutaramanawa, Adigama, Krta Sima, Paswara, dan lain-lain.
Kutaramanawa yang disusun pada puncak kejayaan Majapahit menjadi acuan pokok terbentuknya Hukum Adat di Indonesia, karena penguasa Majapahit berkepentingan menjaga tertib hukum di kawasan Nusantara.
Zaman terus beredar dan peradaban manusia meningkat dengan segala aspeknya. Pada tahun 1951 Raad Kerta atau Lembaga Peradilan Agama Hindu (di Bali) dihapuskan.
Ditinjau dari segi kehidupan beragama, penghapusan Raad Kerta merupakan kemunduran yang serius karena pada kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali bersandar pada hukum-hukum agama Hindu, namun bila terjadi sengketa atau perkara Pemerintah RI menyediakan lembaga Hukum Peradilan Perdata atau Pidana yang mengacu pada sumber hukum Eropa (Belanda) dan Yurisprudensi.
Wacana yang berkembang akhir-akhir ini umat Hindu di Bali menginginkan adanya Lembaga Peradilan Agama Hindu yang dapat memutuskan kemelut perbedaan pendapat dan tingkah laku dalam melaksanakan kehidupan beragama.
Kebutuhan ini dipandang mendesak agar terwujud kedamaian dan keamanan individu. Sampai saat ini nampaknya keinginan itu hanya sebatas wacana saja karena belum ada upaya-upaya riil dari lembaga-lembaga terkait untuk menyusun tatanan organisasi dan acuan hukum bagi suatu lembaga peradilan.
Peninjauan ruang lingkup hukum hindu dapat kita lihat dalam berbagai title hukum (Wyawahara). Tentunya dengan mempelajarai ruang lingkup hukum hindu ini kita diharapkan dapat menjelaskan ruang lingkup hukum hindu dan mengidentifikasi ruang lingkup hukum hindu sesuai dengan title hukum hindu.
A. Wyawahara di dalam Kitab Dharmasutra
Ada beberapa kitab yang ditulis oleh Gautama, Apastamba dan Baudhayana. Diantara ketiga kitab tersebut tidak sama semuanya. Gautama pada mulanya membahas aspek hukumnya dalam rangkaian peletakan dasar tentang fungsi dan tugas Raja sebagai pemegang Dharma, terdapat dalam bab XII. Isi pokoknya membahas tentang hukum pidana dan perdata.
Astamba menambah pokok-pokok materi wyawahara dengan beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitabnya gautama, misal: Hukum perzinahan; Hukum karena melakukan bunuh diri, pencurian, Penggunaan tanah; Hukum karena terus menerus melanggar Dharma; Hukum yang tmbul karena sengketa antara buruh dan majikan; Hukum yang timbul karena penyalahgunaan hak milik.
Baudhayana salah seorang pemuka dan penulis Dharmasutra didalam kitabnya, bab mengenai Rajadharma membahas pokok-pokok hukum dalam beberapa topik.


B. Pokok Bahasan di Dalam Kitab Dharmasastra
Kitab hukum yang lebih muda adalah kitab Dharmasastra atau yang dikenal pula sebagai kitab Smrti. Para penulisnya adalah: Wisnu, Manu, Yajnawalkya, Narada, Brhaspati dan Kautilya.
Berdasarkan Kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, dibedakan adanya 18 title hukum Hindu, yaitu: Rinadana, Niksepa, Aswamiwikraya, Sambhuyasamuttana, Dattasyanapakarma, wetanadana, Samwidwyatikarma, Keayawikrayanusaya, Swamipalawiwada, Wakparusya, Dandaparusya, steya, Sahasa, Strisamgraham, Stripundharma, Wibhaga, Dyutasamahwaya.
Menurut Kautilya membagi Hukum Hindu menjadi dua bidang yaitu bidang hukum publik dan bidang hukum privat. Adapun pembagian hukum Hindu yang dimaksud adalah :
1.   Hukum Pidana Hindu yang disebut dengan kantaka Doshana,yaitu institusi yang termasuk dalam bidang hukum publik.
2.   Hukum Perdata Hindu yang disebut dengan Dharmasthya,yaitu suatu institusi yang termasuk dalam bidang hukum privat.
A. Hukum Pidana Hindu
Hukum Pidana Hindu menurut Kautilya disebut Kantaka Sodhana. Kantaka Sodhana dapat dipandang dari beberapa arti, yaitu: dalam arti Subyektif dan dalam arti Obyektif.
1.      Kantaka Sodhana dalam arti Subyektif
Kantaka sodhana dalam arti subyektif disebut juga Ius Puniedi,yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
2.   Kantaka Sodhana Dalam Arti Obyektif
Kantaka Sodhana dalam arti obyektif disebut juga Ius Poenale,yaitu sejumlam peraturan-peraturan yang berisikan larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang mana pelanggarnya dapat diancam dengan suatu hukuman. Kantaka sodhana dalam arti obyektif ini dapat dibedakan menjadi dua,yaitukantaka sodhana Material dan kantaka sodhana Formal.
B. Hukum Perdata Hindu
Menurut Kautilya Hukum Perdata Hindu termasuk dalam hukum privat. Hukum Perdata Hindu disebut dengan Dharmasthya. Oleh karena termasuk dalam hukum privat , maka hukum ini menjamin kepentingan-kepentingan pribadi.
Mengenai hukum perdata hindu diatur menyebar di berbagai buku pada Weda Smrti. Yang dibahas dalam di dalam hukum perdata hindu diantaranya sebagai berikut :
1. hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan (wiwaha) diatur dalam buku III dan IX Weda Smrti.
2. Mengenai hukum kekeluargaan dan kewarisan diatur didalam buku IX Weda Smrti.
3. Mengenai Hukum Hibah, pemberian dan hadiah diatur didalam buku X Weda Smrti.
4. Mengenai Perjanjian atau perikatan diatur didalam buku VIII Weda Smrti.
5. Mengenai Hukum dagang diatur di dalam buku VIII Weda Smrti.
Mengenai Hukum Perbankan diatur didalam buku VIII Weda Smrti.
2.2    Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Yuga atau Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi, yang terbagi menjadi empat zaman, yaitu Satyayuga atau Kerta Yuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga. Menurut ajaran Hindu, keempat zaman tersebut membentuk suatu siklus, sama seperti siklus empat musim. Siklus tersebut diawali dengan Satyayuga menuju Kaliyuga.
Setelah Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Perubahan zaman dari Satyayuga (zaman keemasan) menuju Kaliyuga (zaman kegelapan) merupakan kenyataan bahwa ajaran kebenaran dan kesadaran sebagai umat beragama lambat laun akan berkurang, seiring bertambahnya umat manusia dan perubahan zaman. Dimana pada akhirnya manusia akan merasa bahwa di suatu masa yang sudah tua, ketika bumi renta, ketika kerusakan moral dan pergeseran budaya sudah bertambah parah, maka sudah saatnya untuk kiamat.
Jika diibaratkan seperti Lembu Dharma (simbol perkembangan moralitas), keempat siklus Yuga (Caturyuga) seperti lembu yang berdiri dengan empat kakinya, dimana setiap zaman berganti, kaki lembu juga ikut berkurang satu, simbol moralitas yang berkurang setiap zaman. Zaman Satyayuga seperti lembu yang berdiri dengan empat kaki, moralitas mantap. Sedangkan zaman Tretayuga seperti lembu yang berdiri dengan tiga kaki. Masa Dwaparayuga dengan dua kaki, dan masa Kali Yuga hanya dengan satu kaki. Pada zaman itu, moralitas tidak bisa berdiri lagi dengan mantap.
Siklus tersebut dimulai dari zaman keemasan (Satyayuga), dan diakhiri oleh zaman kegelapan (Kaliyuga). Setelah zaman kegelapan berakhir, dimulailah zaman keemasan yang baru, sama halnya seperti perubahan musim dingin ke musim semi, dan siklus tersebut berlangsung selama ribuan tahun. Ketika masa kegelapan berakhir, maka zaman baru akan muncul, dimana manusia-manusia yang memiliki sifat jahat sudah dibinasakan sebelumnya untuk memulai kehidupan baru yang lebih damai. Itulah siklus masa dari Satyayuga menuju Kaliyuga, dan Kaliyuga akan kembali kepada Satyayuga. Periode dari Satyayuga menuju Kaliyuga disebut 1 Mahayuga. Setelah Mahayuga berlangsung selama 71 kali, maka tercapailah suatu periode yang disebut Manwantara. Setelah 14 Manwantara berlangsung, maka dicapailah suatu periode yang disebut Kalpa. Menurut ajaran Hindu, pada saat periode tersebut dicapai, maka alam semesta dihancurkan.
Menurut pengamatan beberapa para ahli juga bersumber dari sastra-sastra agama yang pernah mereka baca, sesungguhnya manusialah yang menyebabkan zaman itu berganti. Manusialah sebagai penentu kapan zaman Kaliyuga itu datang, kapan dia akan berakhir dan kapan jaman Kerta itu akan datang.

2.2.1    Karakter Setiap Zaman

1.      Kertayuga

Satyayuga atau Kertayuga, merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga. Siklus Yuga merupakan siklus yang berputar seperti roda. Setelah Satyayuga berakhir, untuk sekian lamanya kembali lagi kepada Satyayuga. Satyayuga berlangsung kurang lebih selama 1.700.000 tahun.
Masa kerta yuga adalah merupakan masa yang penuh kedamaian dimana pada masa tersebut tidak ada manusia yang berbuat adharma walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa itu selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Yang ada dalam kehidupan manusia pada masa tersebut adalah : berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan diatas jalannya dharma sehingga jaman tersebut sering juga dinamakan: Zaman Satya Yuga yang mengandung arti bahwa pada masa itu manusia hidup didalam kesetiaan.
Satyayuga merupakan zaman keemasan, ketika orang-orang sangat dekat dengan Tuhan. Hampir tidak ada kejahatan. Pelajaran agama dan meditasi (mengheningkan pikiran) merupakan sesuatu yang sangat penting pada zaman ini. Konon rata-rata umur umat manusia bisa mencapai 4.000 tahun ketika hidup di zaman ini. Menurut Nathashastra, di masa Satya Yuga tidak ada Natyam karena pada masa itu semua orang berbahagia.
Pada masa Satyayuga, orang-orang tidak perlu menulis kitab, sebab orang-orang dapat berhubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Pada masa tersebut, tempat memuja Tuhan tidak diperlukan, sebab orang-orang sudah dapat merasakan di mana-mana ada Tuhan, sehingga pemujaan dapat dilakukan kapanpun dan di manapun.
 Pada masa Satyayuga, kesadaran umat manusia akan Dharma (kebenaran, kebajikan, kejujuran) sangat tinggi. Budaya manusia sangat luhur. Moral manusia tidak rusak. Kebenaran sangat dijunjung tinggi sebagai aturan hidup. Hampir tidak ada kejahatan dan tindakan yang melanggar aturan. Maka dari itu, zaman tersebut disebut juga ‘zaman keemasan’.

2.      Tretayuga
Masa Tretayuga merupakan zaman kerohanian. Sifat-sifat kerohanian sangat jelas tampak. Agama menjadi dasar hidup. Meskipun begitu, orang-orang mulai berbuat dosa dan penjahat-penjahat mulai bermunculan. Namun semua masih berjalan seimbang. Aktivitas yang berhubungan dengan agama dan kerohanian terjadi dimana-mana dan sangat erat dengan kehidupan manusia. Pada zaman ini muncul berbagai peristiwa. Peristiwa yang paling terkenal adalah munculnya Awatara Wisnu yang kelima, keenam, dan kedelapan, yakni: Wamana, Parasurama, dan Rama. Pada zaman ini, seseorang yang pandai, memiliki pengetahuan dan wawasan luas, serta ahli filsafat akan sangat dihormati.
3.      Dwaparayuga

Zaman ini berlangsung selama 864.000 tahun. Merujuk pada apa yang tertulis di dalam Purana, zaman Dwaparayuga berakhir di kala Kresna kembali ke kediaman abadinya di Waikuntha. Pada masa Dwaparayuga, manusia mulai bertindak rasional. Penjahat-penjahat dan orang-orang berdosa bertambah. Kelicikan dan kebohongan mulai tampak. Yang diutamakan pada zaman ini adalah pelaksanaan ritual. Asalkan mampu melaksanakan upacara, maka seseorang akan dihormati. Akhir zaman Dwapara dimulai ketika Kresna meninggal, setelah itu dunia memulai zaman terakhir, Kali Yuga.

4.      Kaliyuga

Zaman kaliyuga merupakan zaman kehancuran. Banyak manusia mulai melupakan Tuhan. Banyak moral manusia yang rusak parah. Kaum pria banyak berkuasa dan wanita dianggap sebagai objek pemikat nafsu mereka. Banyak siswa berani melawan gurunya. Banyak orang-orang yang mencari nafkah dengan tidak jujur. Dan banyak lagi kepalsuan, kebohongan, kejahatan, dan tindak kekerasan. Pada zaman ini, uang yang paling berkuasa. Hukum dan jabatan mampu dibeli dengan uang. Sekarang ini banyak para sulinggih yang belum melaksanakan swadharmaning seorang sulinggih dengan benar. Ada kecenderungan posisi sulinggih menjadi semacam komuditas bermotif ekonomi. Banyak para sulinggih yang seolah-olah menempatkan diri sebagai produsen yang mengikuti alur umat yang ditempatkan dalam posisi konsumen. Suatu contoh sederhana saja, saat ada orang tangkil nunasin dewasa nganten misalnya, walaupun menurut pewarigan belum ada hari baik untuk nganten tetapi karena permintaan umat yang lebih memikirkan efisiensi waktu maka banyak sulinggih yang memperbolehkan, padahal seharusnya sulinggihlah yang memberikan tatanan yang benar yang diikuti oleh umat, bukan sebaliknya. Karena secara tidak langsung keadaan seperti ini  juga disebabkan oleh perilaku seorang sulinggih. Seperti dijelaskan dalam sastra "yan sira sang wiku tan nepeh kalinganing sastra, rug ikang rat"  Jika para wiku selaku pemimpin umat tidak mentaati aturan sastra, maka hancurlah dunia ini.
2.2.1    Jangka Waktu pada Masing-masing Zaman
Dalam Caturyuga, setiap zaman yang berlangsung memiliki jangka waktu. Menurut salah satu perhitungan tradisional, masing-masing zaman memiliki jangka waktu yang berbeda, dan bila digabungkan, akan membentuk suatu periode yang disebut 1 Mahayuga. Secara singkat dijabarkan seperti di bawah ini:
Satyayuga (1.728.000 tahun)
Tretayuga (1.296.000 tahun)
Mahayuga (4.320.000 tahun)
Dwaparayuga (864.000 tahun)
Kaliyuga (432.000 tahun)
Jangka waktu tersebut menjadi dasar perhitungan yang terkenal, seperti yang dijabarkan kitab Bhagawadgita yang disusun oleh Om Visnupada A.C.B. Swami Prabhupada. Menurut kitab tersebut, masa Kali Yuga dimulai ±5.000 tahun yang lalu (konon pada saat raja Yudistira naik tahta dan Kresna meninggal, yaitu tahun 3102 SM) dan akan terus berlangsung, kurang lebih selama 432.000 tahun.
Sementara itu Sri Yukteswar memiliki perhitungan lain. Menurut Sri Yukteswar, dalam bukunya The Holy Science, Satyayuga berlangsung selama 4.800 tahun, Tretayuga berlangsung selama 3.600 tahun, Dwaparayuga berlangsung selama 2.400 tahun, dan Kaliyuga berlangsung selama 1.200 tahun.
Menurut Sri Yukteswar, Kaliyuga dimulai pada tahun 499 SM, dan semenjak tahun 1699 M, dunia ini sudah melalui masa Dwaparayuga kembali. Siklus yang dimaksud oleh Sri Yukteswar adalah siklus yang mundur ke belakang, bukan kembali ke awal.
Masa 1.200 tahun menurut perhitungan Sri Yukteswar konon merupakan jangka waktu yang sebenarnya dari zaman Kaliyuga. Namun masa tersebut bukan tahun biasa seperti tahun di bumi, melainkan tahun Dewa. Masa 1.200 tahun Dewa sama dengan masa 432.000 tahun di bumi.


2.3    Perbedaan Kegiatan Beragama di Masing-masing Zaman Menurut Manavadharmasastra
Tapah pararn kerta yuge
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge

(Manawa Dharmasastra, I.86)
Maksudnya:  Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali Yuga adalah Dana Punia.
Ada lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).
Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga — Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman ditiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama-pun berbeda-beda pada setiap zaman.
Menurut Manawa Dharmasastra 1.86 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini, prioritas beragama-pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kali Yuga beragama dengan prioritas melakukan dana punia.
A.    Kehidupan beragama dengan bertapa di zaman Kertayuga
               Pada zaman Kertayuga kegiatan beragama diprioritaskan dengan melaksanakan tapa atau semadhi. Pada zaman Kertayuga, pikiran orang umumnya murni. Mereka tidak memiliki gangguan pikiran. Tidak ada bioskop, hotel, dan gangguan-gangguan sejenis lainnya. Oleh karena itu bertapa atau bermeditasi mudah dan wajar bagi mereka. itulah sebabnya mengapa perenungan diberlakukan bagi orang-orang pada zaman Kertayuga ini. Kegiatan bertapa yang dimaksud ialah usaha pengekangan diri dengan yoga dan semadhi. Istilah tapa diambil dari bahasa Sansakerta, yang bermakna olah batin dengan mengasingkan diri dari keramaian dunia serta menahan hawa nafsu. Definisi bertapa menurut Kamus Bahasa lndonesia. “Bertapa adalah pergi ke tempat yang sunyi dan lengang, menjauhkan diri dari keramaian untuk berkhalawat, menyucikan diri dari dosa, untuk memperoleh kesaktian, atau kekuatan batin.” (Kamus Umum Bahasa lndonesia: 1434). Dan dalam kamus lain, “Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan nafsu (makan, minum, tidur, birahi) untuk mencari ketenangan batin.” (Kamus Besar Bahasa lndonesia: 1142).
               Bertapa sering juga dikatakan sebagai bermeditasi, yang menurut definisinya adalah memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Saat manusia bermeditasi, aktivitas ragawi mati total. Semua fungsi diambil alih oleh “kesadaran”, buah konsentrasi penuh yang menggumpal menjadi sebuah kekuatan nyata di luar kemampuan fisik. Saat meditasi, raga memang tidak membutuhkan asupan nasi atau air. Partikel-partikel yang terkandung di dalam udara (oksigen), sangat kaya. Ia masuk melalui pori-pori dalam kulit, terserap ke sel-sel darah, dan mengalir menjadi energi. Karena itulah seseorang yang melakukan kegiatan bertapa bisa menjalani hari-harinya tanpa makan atau minum.
Bertapa sama artinya dengan melakukan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan begitu kita dapat mengontrol pikiran. Untuk itu orang yang sering bertapa kerap kali disebut seorang spiritual. Seorang spiritual adalah orang yang hidup setiap harinya merenungkan Tuhan. Dengan bertapalah orang yang hidup di zaman kertayuga menjalani kehidupan beragamanya. Sebab dengan bertapa mereka dapat menjaga pikirannya agar seimbang dan tidak terpaku pada sesuatu dan tidak tergoyahkan oleh hal-hal yang buruk. Kita harus berpegangan teguh kepada Tuhan.
Bertapa pada Tuhan yang mengetahui segalanya, yang tidak tersentuh oleh keinginan dan tidak tergoyahkan oleh nafsu, membuat orang seperti Tuhan itu sendiri. Untuk membuat diri seimbang seperti Tuhan, orang harus memuja Tuhan. Pendita Tiruvalluvar berkata bahwa kita harus satukan diri kita dengan-Nya yang tanpa ikatan keinginan untuk melepaskan diri kita dari ikatan keinginan segala sesuatunya. Satukan dirimu dengan Tuhan untuk terbebas dari dunia ini.
Apabila kita dapat melepaskan diri kita dari segala keinginan maka kita akan memperoleh ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa ini kita peroleh karena kondisi kita yang telah terlepas dari sifat-siat tertentu dan pengaruh-pengaruh dari orang lain. Dalam Shatpadistotra Sri Sankara bermohon kepada Tuhan sebagai berikut :
avinayamapanaya
damaya manah
samaya vishayatrishnam
vistaraya bhutadayam

Artinya :
‘Oh Tuhan, enyahkanlah kesombonganku (segala sesuatu yang tidak luhur budi) kendalikan pikiranku, musnahkan kehausanku akan kenikmatan dunia, bentangkan kasih sayangku untuk semua insan.’

Jelaslah, apabila seseorang telah ditolong untuk melepaskan kesombongannya, mengendalikan pikirannya, menghalangi hawa nafsunya, dan merasa kasih sayang yang mendalam kepada sesamanya di dunia, maka ia secara otomatis akan mencapai santi (ketenangan jiwa) dan menyeberangi lautan kesengsaraan (samsara).
Maka tidak heran bila zaman Kertayuga disebut sebagai zaman keemasan. Sebab kesadaran umat manusia akan Dharma (kebenaran, kebajikan, kejujuran) pada zaman itu sangat tinggi. Budaya manusia sangat luhur. Moral manusia tidak rusak. Kebenaran sangat dijunjung tinggi sebagai aturan hidup. Hampir tidak ada kejahatan dan tindakan yang melanggar aturan.

B.     Jnana Prioritas Utama di Zaman Tertayuga

Pada zaman Tertayuga, ada perwujudan Awatara dan orang-orang secara mudah dapat memuja  langsung pada Tuhan. Oleh karena itu pemujaan dinyatakan sebagai bentuk prinsip Sadhana pada masa itu. Pada zaman Tertayuga Jnana adalah jalan pengetahuan. Moksa dicapai melalui pengetahuan tentang Brahman. Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah awidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena ketidaktahuannya secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman. Awidya bertindak seperti tirai atau layar dan menyelubungi Jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahman Jnana membuka selubung ini dan membuat Jiwa bersandar pada Sat Cit Ananda Swarupa (sifat utamanya sebagai keberadaan kesadaran kebahagiaan mutlak) dirinya.
 Jnana atau budi pekerti adalah pelunasan segala penderitaan. Penderitaan adalah kondisi mental seseorang yang timbul dari identifikasi diri yang salah dari atma pada badan jasmaninya. Ini disebut dehatmabuddhi. Jiwa sejati seseorang adalah kenyataan yang permanen dan kekal abadi dari sifatnya. Ini disebut atman. Ini adalah “aku” seorang manusia. Ini harus dikacaukan dengan badan jasmani serta bagian-bagiannya. Pengertian “aku” harus dipisahkan dari badan jasmani. Apabila ini terjadi, penderitaan akan dimengerti sebagai bagian dari pada badan jasmani, dan orang yang bersangkutan tidak terkena akibatnya. Setelah memisahkan atmanya dari badan jasmaninya, seorang siswa spiritual belajar di bawah bimbingan seorang guru yang kompeten untuk menyadari penyatuannya dengan Yang Maha Kuasa. Caranya dengan jalan meditasi atas deklarasi kitab-kitab suci, yang menyatakan atman ini adalah Brahman. Akhirnya ia mencapai kesadaran penyatuan dengan Yang Maha Kuasa, dan memiliki pengalaman perasaan kudus dari ketidak-perbedaannya dengan Brahman. Setelah mencapai tujuan kesadaran bersatu dengan Brahman yang teragung ini, maka tidak ada lagi yang dipikirkan lebih tinggi dari itu. Inilah tingkat tertinggi dari budi pekerti jnana. Orang yang mencapai ini adalah seorang jnani sejati. Seorang jnani demikian tidak akan tergoyahkan oleh penderitaan yang paling dalam sekalipun. Ini telah diyakinkan oleh Sri Krisna dalam Bhagavadgita VI. 22:

yam labdhacha aparam labham
manyate nadhikam tatah
yasminsthitho na duhkena
guruna pi vichalyate

Artinya:
‘Dimana tercapai apa yang dipikirkan
dan tiada lagi lebih mulia di luar itu
yang dapat dicapai, di sana ia tertuju
tiada tergoyahkan oleh duka terberat sekalipun’



                 Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan Yang Tertinggi yang merupakan para widya.

C.     Yadnya Prioritas Beragama di Zaman Dwaparayuga

Pada zaman Dwaparayuga kegiatan beragama diprioritaskan dengan melaksanakan yadnya. Pada zaman Dwaparayuga bahan-bahan untuk melakukan yadnya atau pengorbanan dapat diperoleh secara mudah. Orang-orang memiliki kecenderungan aktif. Oleh karena itu mudah bagi mereka untuk melaksanakan upacara Agnihotra, Jyotistoma, Darsa-Paurnima dan yadnya-yadnya lainnya. Itulah sebabnya mengapa yadnya dinyatakan sebagai bentuk luar dari sanatana Dharma pada zaman itu.
Ada lima upacara kurban harian besar yang harus dilaksanakan oleh setiap kepala keluarga, yaitu, 1. Brahma Yajna, yang disebut juga Weda Yajna, yaitu kurban kepada Brahman atau kitab suci Weda, atau para orang suci; 2. Dewa Yajna, kurban kepada para Dewa; 3. Pitr Yajna, kurban kepada para leluhur; 4. Bhuta Yajna, kurban kepada semua makhluk; 5. Manusya Yajna, kurban kepada sesame manusia. Pelaksanaan kelima yajna ini berguna untuk evolusi atau pertumbuhan spiritual seseorang. Secara perlahan-lahan ia belajar bahwa ia bukanlah kesatuan yang terpisah atau terisolasi, tetapi bagian dari keseluruhan yang besar. Ia mendapatkan pengetahuan, dengan mempelajari kitab-kitab suci yang ditulis oleh para rsi agung. Ia mendapat bantuan dari teman-teman, kerabat dan keluarganya. Orang tuanya memberinya badan fisik yang dihidupi oleh susu sapi, nasi, sayur-mayur dan buah-buahan. Kelima unsur membantunya dan ia tak dapat hidup tanpa oksigen dan air. Para Dewa dan Pitr memberkahinya. Oleh karena itu, ia berhutang lima macam kepada alam semesta ini, dan harus membayarnya kembali dengan melaksanakan kelima upacara kurban harian ini. Selanjutnya bermacam-macam serangga terbunuh olehnya tanpa disengaja, selama berjalan, menyapu, menumbuk, memasak dan sebagainya. Dan dosa ini terhapuskan dengan pelaksanaan upacara kurban ini.
Mengajarkan dan belajar kitab suci, merupakan Rsi Yajna; Tarpana atau persembahan air pada arwah leluhur dan upacara sraddha, merupakan Pitr Yajna; Homa atau persembahan kepada api, merupakan Dewa Yajna; Persembahan makanan kepada semua makhluk ciptaan, merupakan Bhuta Yajna.
Dengan melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan sehari-hari dan simpati, manusia mengembangkan sifat welas asih dan melenyapkan kebencian. Keakuan, hati yang kaku secara perlahan-lahan dapat dilembutkan, dan ia mengusahakan kasih sayang universal. Ia mencoba untuk merasakan kesatuannya dengan semua makhluk, dan perasaannya yang dahulu terpisah disebabkan keakuan dan egoism, secara perlahan-lahan berkurang dan akhirnya lenyap. Keseluruhan kehidupannya hendaknya dijadikan kehidupan pengorbanan dan kewajiban.

D.    Prioritas Beragama dengan Dana Punia di Zaman Kaliyuga

Orang-orang pada zaman Kaliyuga banyak mendapatkan gangguan pada pikirannya. Mereka kurang memiliki kekuatan kehendak dan daya penalaran atau penyelidikan rasional. Sangat sulit untuk memperoleh bahan-bahan untuk melakukan upacara kurban. Selain itu, orang-orang di zaman Kaliyuga disibukkan oleh pekerjaan mereka demi mengejar materi sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, untuk menerapkan ajaran agama kebanyakan mereka melakukan dana punia agar lebih instan. Dana punia menurut Hindu merupakan salah satu ajaran yang harus dihayati dan diamalkan. Pengertian dana punia adalah pemberian yang baik dan suci dengan tulus ikhlas sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran dharma. Sesuai dengan asal kata dana punia, dana berarti pemberian dan punia berarti selamat, baik, bahagia, indah dan suci. Dana punia merupakan suatu sarana untuk meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan YME, selain itu dengan berdana punia akan membangun sikap kepedulian kita terhadap sesama.
Ajaran dana punya dilandasi oleh ajaran Tattvam Asi, yang berarti aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita semua adalah sama. Pandanglah setiap orang seperti diri kita sendiri yang memerlukan pertolongan, bantuan atau perlindungan untuk mewujudkan kebahagiaaan hidup yang sejati, seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda, “vasudhaivakutumbakam” semua makhluk adalah bersaudara. Manusia merupakan makluk sosial dalam arti manusia tidak dapat hidup sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain. Dengan menghayati dan memahami ajaran Tat Twam Asi sudah semestinya terjalin hubungan yang baik antar sesama. Jangan sampai kita sebagai manusia saling menyakiti satu sama lain, melakukan tindakan anarkis yang merugikan orang lain, atau bahkan tega membunuh sesama manusia. Hendakanya kita saling menolong dan memberikan perlindungan terhadap sesama, bila menjadi orang kaya bantulah orang – orang yang miskin, bila menjadi orang yang kuat bantulah orang – orang yang lemah, sehingga kehidupan yang harmonis dapat terwujud, yang merupakan implementasi dari ajaran Tat Twam Asi.
Dalam Kitab Manawadharmasastra berisi tentang Hukum Hindu, termasuk didalamnya menjelaskan tentang dana punia. Dalam kitab Manavadharmasastra, terkandung ajaran yang menjelaskan tentang dana punia, sebagai berikut :
” caktito’pacamanebhyo data-wyam grha medhina,
samwaibhagasca bhutebhyah kartawyo’nuparodhatah ”

artinya :
“Seorang kepala keluarga harus memberi makan sesuai kemampuannya kepada mereka yang tidak menanak dengan sendirinya (yaitu pelajar dan pertapa) dan kepada semua makhluk. Seseorang hendaknya membagi-bagikan makanan tanpa mengganggu kepentingannya sendiri”. (Manawadharmasastra IV.32).
” triswapye tesu dattam hi widhina apyarjitam dhanam,
datur bhawatyan arthaya paratra daturewa ca ”

artinya :
“Walaupun harta itu dperoleh sesuai menurut hukum (dharrna) tetapi bila tidak didermakan (disedekahkan/diamalkan) kepada yang layak, akan terbenam ke kawah neraka”. (Manawadharmasastra IV. 193).
” sraddhayestam ca purtam ca
nityam kuryada tandritah,
craddhakrite hyaksaye te
bhawatah swagatairdhanaih ”

artinya :
“Hendaknya tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan memberikan hartanya dan mempersembahkan sesajen dengan penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan didermakan akan memperoleh tempat tertinggi (Moksa)”. (Manawadharmasastra IV.226).
” yatkimcidapi data wyam yacitenanasuyaya,
utpatsyate hi tatpatram yattarayati sarwatah ”

artinya :
“Apabila dimintai, hendaknya ia selalu memberikan sesuatu, walaupun kecil jumlahnya, tanpa perasaan mendongkol, karena penerima yang patut akan mungkin ditemui yang menyelamatkannya dari segala dosa”. (Manawadharmasastra IV.228).

” waridastriptimapnoti sukha maksayyamannadah,
tila pradah prajamistam dipadascaksur uttamam ”

artinya :
“Ia yang berderma air akan memperoleh kepuasan, berderma makanan akan memperoleh pahala kenikmatan, yang berderma biji-bijian akan memperoleh keturunan, dan yang berderma mampu akan memperoleh pengetahuan,yang sempurna”. (Manawadharmasastra IV. 229).
“bhumido bhumimapnoti dirgam ayurhiranyadah,
grihado’gryani wesmani rupyado rupam uttamam ”

artinya :
“Yang berderma tanah akan memperoleh dunia yang layak baginya, berderma emas memperoleh umur panjang, berderma rumah akan memperoleh karunia yang agung, yang berderma perak akan memperoleh keindahan”. (Manawadharmasastra IV. 230).
“wasodascandrasalokyam aswisalokyamaswadah,
anaduddah sriyam pustam godo bradhnasya wistapam ”

artinya :
“Yang berderma pakaian akan memperoleh dunia yang layak di alam ini dan di bulan nanti, yang berderma kuda memperoleh kedudukan seperti dewa Asvina, yang berderma kerbau akan memperoleh keberuntungan dan yang berderma lembu akan mencapai suryaloka (Sorga)”. (Manawadharmasastra IV. 231).
” yena yena tu bhawena yadyaddanam prayacchati,
tattattenaiwa bhawena prapnoti pratipujitah”

artinya :
“Apapun juga niatnya untuk berdana punia pahala itu akan diperolehnya di kemudian hari”. (Manawadharmasastra IV. 234).
” yo’rcitam pratigrihnati dadatyarcitamewa ca,
tawubhau gacchatah swargam narakam tu wiparyaye ”

artinya :
“Ia yang dengan hormat menerima pemberian dana punia ia dengan tulus memberikannya keduanya mencapai sorga, dan apabila pemberian dan penerimaannya tidak tulus akan jatuh ke neraka”. (Manawadharmasastra IV. 235).




















BAB III
PENUTUP

3.1    Simpulan
1.   Manavadharmasastra merupakan sebuah kitab Dharma yang dihimpun dalam bentuk sistematis oleh Bhagawan Bhrgu, salah seorang penganut ajaran Manu. Kitab ini dianggap paling penting bagi masyarakat Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga. Wedangga adalah kitab yang merupakan batang tubuh Weda yang tidak dapat dipisahkan dengan Weda Sruti dan Weda Smrti.
2.   Dalam ajaran agama Hindu, Yuga atau Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi, yang terbagi menjadi empat zaman, yaitu Satyayuga atau Kerta Yuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga.
3.   Karakter pada masing-masing zaman, yaitu:
a.  Masa kerta yuga adalah merupakan masa yang penuh kedamaian Manusia pada masa itu selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti mahluk lain baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan.
b.  Masa Tretayuga merupakan zaman kerohanian. Sifat-sifat kerohanian sangat jelas tampak. Agama menjadi dasar hidup. Meskipun begitu, orang-orang mulai berbuat dosa dan penjahat-penjahat mulai bermunculan.
c.  Pada masa Dwaparayuga, manusia mulai bertindak rasional. Penjahat-penjahat dan orang-orang berdosa bertambah. Kelicikan dan kebohongan mulai tampak.
d. Zaman kaliyuga merupakan zaman kehancuran. Banyak manusia mulai melupakan Tuhan. Banyak moral manusia yang rusak parah.
4.   Menurut Manawa Dharmasastra 1.86 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini, prioritas beragama-pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kali Yuga beragama dengan prioritas melakukan dana punia.


DAFTAR PUSTAKA

A.    Drucker. 1991. Intisari Bhagawad Gita. Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia
G. Pudja, M.A. dan Tjokorda Rai Sudharta, M.A. 2004. Manavadharmasastra (Manu Dharmasastra). Surabaya : Paramita
Nyoman S. Pendit. 1993. Aspek-aspek Agama Hindu. Jakarta: Pustaka Manikgeni
Rama Navami. 1998. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita
Dr. Mahendra Mittal. 2006. Intisari Weda. Surabaya: Paramita
http//www.Manawa Dharmasastra _ Beberapa Pemahaman Berkaca Rasa.htm
http//www.Manawa Dharmasastra _ Stiti Dharma Onlinennn.htm
http//www. MANAWADHARMASASTRA _ Sastradahat.htm
http//www. Parisada Hindu Dharma Indonesia - Kewajiban Manusia Pada Zaman Kaliyuga.htm